Gema Ramadan

 [CERPEN]Ketika Ramadan Datang

Ia kesakitan setelah dilempari batu yang terdengar sangat keras mengenai kepala Ali, melihat kepala Ali yang dipenuhi dengan darah, Usman menjadi panik dan pucat, masyarakat yang melihat kejadian tersebut berbondong-bondong menolong Ali yang hampir sekarat.

Usman tak kuasa menahan rasa takut yang menyelimuti tubuhnya dan kakinya pun sontak tergerak berlari tanpa tujuan melihat Ali yang dilemparinya tergeletak tak kuasa. Akan tetapi Usman merasa Ali pantas mendapatkan itu melihat Ali yang selalu membully nya dan mengejeknya, hari-shari dilewatinya penuh dengan cacian dan hinaan kepadanya dan keluarganya, Usman tidak kuasa menahan amarahnya.

“Ali… Ali… Ali… anakkuuuu…..” hancur hati seorang ibu yang melihat anaknya berlumuran darah tak lebih perih dari sayatan pisau yang terus menyayat hatinya.

“Siapaa!! Siapaa!! Yang melakukan ini kepada anakku” bagai masakan yang di campur dengan berbagai bumbu, campur aduk untuk menghakimi seorang anak sedangkan buah hati nya tergeletak tidak berdaya, mungkin lebih ke es campur.

“WIW WUW WIW WUW” ambulan berbunyi menghampiri Ali yang tergeletak tak sadarkan diri ayah Ali pun memutuskan untuk tidak mengejar Usman terlebih dahulu dan ingin memastikan anaknya Ali aman dan selamat untuk tiba di rumah sakit.

Usman pun pergi ke atas bukit tempat dimana ia menenangkan dirinya dari masalah yang menimpanya, ia menganggap bukit dapat membawanya melambung tinggi dari masalah-masalahnya, angin menghembus seakan meniup semua beban yang ia rangkul, burung burung berkicau menenangkan Usman kecil yang amat sangat terpuruk. Usman membenci rumahnya ia menganggap rumah bukanlah rumah, rumah tempat dimana kita bercerita, tertawa bersama, dan hidup di dalam kehangatan yang mengelilinya.

(*suasana rumah Usman*)

“Dasar suami tidak berguna tidak bisa diharapkan” kalimat yang terucap di sertai amarah dan kekecewaan yang mendalam mengingat bulan ramadhan sudah dekat, namun ekonomi di keluarganya tak kunjung membaik , “Kita butuh lebih banyak duit mas”

“Jadi istri ngomel wae, aku juga usaha dek” kalimat yang seakan menusuk raga dan jiwa seorang ayah membuat ia makin emosi dan makin terbakar megingat usahanya yang bekerja dengan sangat amat giat semata-mata untuk keluarganya. “Asal kamu tau ya! duit segitu bisa jadi berlian di tangan orang yang tepat”

“Jadi aku bukan istri yang tepat mas kalo gitu ngapain mas nikahan aku, cari sana istri yang lebih baik dari aku mas!.

Jantungnya tak karuan mendengar pintu yg tertutup dengan keras, ayah pergi sembari  merangkul beban yang amat berat di punggungnya mengingat tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, yang  pergi menenangkan diri.

Heeiii!!! teriak ayah Ali dengan nada yang marah “Kau didik anak mu dengan baik! lihat apa yang telah ia perbuat” tak kuasa menahan amarahnya kerah baju menjadi korban untuk ancaman kecil sebagai wacana amaran yang keras terhadap ayah Usman.

“Apa obat mu salah”?? sembari berteriak dengan amarah dan juga acang acangan untuk memberi pelajaran kepada ayah Ali yang melampaui batas.

“Anak mu Usman telah melempar anakku Ali dengan batu ke kepalanya dan sekarang iasss tergeletak di rumah sakit dengan kondisi kritis” ujarnya dengan suasana hati yang hancur dan wajah yang sendu.

“Apaaa”!!!!! amarah yang menyelimutinya seakan ingin bergejolak dan membakar dunia, Usman yang menambah masalahnya kini menganggap anaknya itu hanyalah sampah yang merepotkan dan serangga pengacau yang harus diberi pelajaran, tiada tutur kata yang terucap  ayah Usman kecuali “Maafkan Usman anakku, aku berjanji mendidiknya dengan lebih benar kedepannya”

“Huuufftt”…. (menghela nafas panjang) “Baiklah, ku maafkan kau, tetapi aku meminta ganjaran  atas ulah anakmu ini, siapkan uang 20 juta dalam waktu 3 hari”.

“Gabisa gitu dong paak”!! mengingat ekonominya di ambang kebangkrutan dengan kebutuhan yang banyak ditambah sekarang ia harus ganti rugi atas ulah anaknya itu. “Bukan kah ada jalan lain pak”?

“Tidaakk!!!!! Siapkan uang dalam waktu 3 hari atau siap-siap tidur di penjara” (sambil berjalan meninggalkan ayah Usman).

Ayah Usman pun terdiam dan tidak bisa berkata apa apa melihat kondisinya yang sangat tragis ini, masalah menimpanya bertubi-tubi “Hidup ini tidak adil”

Malam hari pun tiba, Usman pulang menuju rumahnya dgn suasana hati yang kacau layaknya air laut yang terombang ambing tanpa arah diterpa badai, angin, dan tiada ketenangan memberanikan diri untuk memasuki rumahnya. Ya, seperti dugaan kita Usman di hajar habis-habisan oleh ayahnya, hingga terjatuh tak berdaya. “Apa kau kehilangan akal sehatmu? anak bodoh kau kenapa kau melempari nya, ngomong!!! ngomong!!! ngomong!!!” “Aku di ejek ayah!! Keluargaku dihina, apa aku salah ayah? aku berusaha membela kehormatan keluargaku” (sembari menangis histeris).

Kayu terjatuh dari tangan sang ayah, ia terdiam dan terpaku bingung harus berbuat apa anak semata wayangnya itu ternyata membela kehormatan keluarganya yang dihina seharusnya aku bangga padanya, “Masuk ke kamarmu” (ayah Usman pun tak sanggup menahan air matanya yang menetes atas penderitaan dan penyesalan yang dialami olehnya)

(esok harinya di kantor)

“Tolong sampaikan gaji bulan ini kepada seluruh karyawan di kantor ya, saya percayakan ini kepada mu”

“Baik pak”, tergesit di benaknya untuk membawa lari semua uang itu demi menunjang kehidupan yang lebih layak, ia pun mengikuti alur pikirannya tersebut dan melunasi hutangnya kepada ayah Ali sembari berencana untuk lari dan menghilang sejauh-jauhnya dari hadapan semua orang.

Namun tak butuh waktu lama untuk polisi menemukan ayah Usman dan keluarganya, akhirnya ayah Usman berakhir di penjara, Usman dan ibunya di cemooh di kalangan masyarakat sebagai istri dan anak koruptor.

Dalam keadaan yang hancur, secercah harapan pun tak kunjung di dapat ibunya duduk termenung meratapi nasib dan ia merasa sudah kehilangan semuanya. “Bu, Allah selalu bersama ibu, dan Usman juga” mendengar ucapan anaknya tersebut dia sadar atas perbuatannya selama ini ia menuntut lebih, tidak pernah bersyukur, dan bahkan tidak pernah memberikan kasih sayang kepada anaknya Usman. Air mata penyesalan terus mengaliri pipinya, membasahi pundak Usman yang kini duduk di pelukan ibunya.

“Sudah bu, semua orang punya masa lalu dan pasti melakukan kesalahan, maka yang terpenting bu sekarang bagaimana kita mangubahnya dan menuju ke jalan yang lebih baik”

Dengan datangnya bulan Ramadhan, membawa keberkahan kepada keluarga Usman umtuk menuju ke jalan yang lebih baik, di bulan yang penuh berkah ini ibu dan Usman melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya didasari penyesalan yang amat mendalam, mereka memutuskan untuk hijrah ke jalan Allah swt.

Ayah Usman pun kini menyesal atas perbuatannya, seharusnya ia tidak gegabah dalam mengambil keputusan, “Sesungguhnya Allah bersamaku mengapa aku harus melakukan hal yang bodoh”

 

Penulis      : M. Aydil

Alamat      : Darul Aman, Peukan Idi Cut, Aceh Timur

Asal sekolah : SMA N 1 Idi Rayeuk

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button